Karena hidup adalah sebuah permainan, bila god bless menjelaskan jika dunia ini ialah sebuah pentas drama, saya yakin benar jika hidup ini ialah sebuah permainan.

Di zaman matinya kepakaran dan perayaan kebebalan saat ini, kemungkinan beberapa orang berasa memiliki hak mendeskripsikan teorinya masing-masing, tetapi sudah pernahkah Anda bertanya apa ada dasar teori yang menerangkan mengapa kita sukai bermain games? Apa ada keterkaitan bermain games dengan kehidupan kita setiap hari? Dan bagaimana games menjadi sebuah filosofi hidup?

Karena Hidup Adalah Sebuah Permainan

Karena Hidup Adalah Sebuah Permainan

Karena Hidup Adalah Sebuah Permainan

Oh ya, saat sebelum Anda membaca selanjutnya, untuk Anda yang lebih sukai dengan jawaban-jawaban simpel dan banal, kemungkinan saat ini waktunya tutup artikel ini karena saya tidak mau menghabiskan waktu Anda. Karena hidup adalah sebuah permainan

Bila Anda masih di sini, selamat! Anda sama anehnya dengan saya kwkwkwkwk… Walau memang pada akhirannya artikel ini ialah masalah bagaimana pemikiran saya dalam mengartikan filosofi gaming, ada 3 buku yang saya menjadikan dasar berpikiran di sini. Ke-3 nya bakal menjadi sisi tertentu dalam artikel ini.

Satu kembali saat sebelum kita masuk ke setiap sisi, saya kemungkinan harus juga memberi penafian jika pengetahuan saya atas ke-3 buku itu bisa saja benar-benar kelewatan . Maka, bila bisa saya memberi anjuran, baca sendiri ke-3 buku barusan. Dengan begitu, Anda kemungkinan dapat memperoleh pencerahan yang lain hasil dari proses saya membaca beberapa buku itu sekian tahun lalu.

Plus, tidak ada kelirunya kan mengeruk pengetahuan dari membaca buku… Kata siapa gamer itu selalu harus sekitar pada sinetron, kebebalan, dan eksplorasi wanita? Silahkan kita ulas satu-satu, saat sebelum saya justru jadi meracau bak influencer dan selebritis sosmed… Eh kwkwkwkw…

Manusia yang Bermain

Tidak syah rasa-rasanya bila tidak masukkan buku tulisan Johan Huizinga ini ke rangka berpikiran melihat hidup sebagai sebuah permainan. Sehubungan saya memanglah tidak dapat berbahasa Belanda, buku yang saya baca ialah yang versus terjemahan, yakni Homo Ludens: A Studi of the Play-Element in Culture.

Dalam hasil pertimbangan Huizinga yang tersering dipakai setiap kreasi ilmiah sekitar gaming ini menjelaskan jika bermain (play) bahkan juga telah ada saat sebelum kita berbudaya serta hewan juga bermain walau tidak diajari.

Lebih jauh kembali, Huizinga berpendapat jika akar bermain dapat kelihatan dari tiap faktor peradaban seperti perang, agama, politik, olahraga, atau kreasi seni. Sehubungan bisa saja terlampau panjang dan saya pun tidak berasa cukup oke, saya tidak tuliskan ringkasan dari isi buku itu di sini. Anda dapat membaca salah satunya ringkasan yang menurut saya lumayan baik di link ini.